Kamis, 07 Januari 2021

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU (Bagian III)



JUSMAN IMAM  

(PEMBINA TAHFIZHUL QURAN PP AS'ADIYAH GALUNG BERU)

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU


Dijelaskan dalam kitab Matan Al-Ghayatu Wat Taqrib (kitab fiqhi ringkas Mazhab Syafi’i) karya Al-Qadhi Abu Syuja, kitab ini juga disebut Al-Ghayah Al-Ikhtishar/Mukhtashar Abu Syuja, diterangkan bahwa ada enam hal yang membatalkan wudhu, diantaranya :

     1.    Sesuatu yang keluar dari pintu depan dan pintu belakang (kemaluan depan dan kemaluan belakang)

     2.  Tidur dalam keadaan tidak duduk

     3.   Hilangnya akal disebabkan karena mabuk dan sakit

4.     4.  Bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa penghalang

5.      5. Menyentuh alat kelamin dengan telapak tangan

6.      6. Menyentuh lubang dubur.

 

Ibnu Q asim Al-Ghazi dalam Fathul Qaribul Mujib menerangkan dengan rinci enam hal tersebut.

1.      Keluarnya sesuatu dari dua jalan kemaluan, qubul dan dubur. Keluarnya sesuatu dari qubul seperti air mani, air madzi, air wadi, air kencing, darah haid dan nifas bagi perempuan  serta keluarnya sesuatu dari dubur seperti darah, kentut, cacing, dan kotoran.

Dalam Alquran surah Al-Maidah:6, Allah berfirman “Awujaa ahadun mingkum minal ghaaith” artinya atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar. Dengan demikian apabila seseorang buang air besar maka batallah wudhunya.

 

Sementara dalam hadits oleh Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim :

“ An abii hurairata radhiyallahu anhu qaala : qaala rasulullahi shallallahu alaihi wasallam : Laa yuqbalullahu shalaata ahadikum idza ahdatsa hatta yatawadhdho’a. Faqaala rajulun min ahli hadhramaut, mal hadatsu ya abaa hurairah? Qaala, fusaaun awu dhuratun.

Artinya: Abu Hurairah bercerita bahwa Rasulullah Saw bersabda, Allah tidak menerima shalat kamu sekalian apabila kamu dalam keadaan hadats hingga kamu berwudhu. Kemudian seorang hadramaut bertanya kepada Abu hurairah, apakah hadats itu ya Abu Hurairah? Abu hurairah menjawab, kentut yang tidak bersuara dan kentut yang bersuara, (Al-Bukhari, 135)

 

Dari penjelasan ini memunculkan pertanyaan tentang apa perbedaan air mani, air wadi, dan air madzi. Air mani adalah cairan warna putih yang keluar memancar dari kemaluan, biasanya keluarnya cairan ini diiringi dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Air mani ini dapat keluar dalam keadaan sadar seperti berhubungan suami istri ataupun dalam keadaan tidur atau mimpi basah. Sehingga keluarnya cairan ini menyebabkan seseorang dihukumi mandi besar atau mandi junub. Allah berfirman dalam Alquran surah Al-Maidah ayat 6 : Wa in kuntum junuban faththaharuu, artinya dan apabila kalian junub, maka mandilah.

 

Sementara wadi adalah cairan putih kental yang keluar dari kemaluan seseorang setelah kencing dan atau mungkin setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan. Maka batallah wudhu ketika cairan ini keluar. Cairan ini termasuk hal yang najis dan cara membersihkannya adalah dengan mencuci kemaluan, kemudian berwudhu ketika hendak melaksanakan shalat.

 

Madzi adalah cairan yang keluar dari kemaluan bening dan lengket. Keluarnya cairan ini disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau mengkhayalkan tentang hubungan jima’, atau ketika pasangan suami istri sedang atau bercumbu. Bedanya dengan air mani, ketika cairan ini keluar tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas dan juga cairan ini keluar tanpa disadari (;tidak terasa).

 

Sebagaimana air wadi, hukum madzi juga adalah najis. Apabila air madzi keluar dan tubuh kita terkena maka wajib mencuci bagian tubuh yang terkena, dan ketika air ini mengena pakaian kita maka cukup dengan memercikkan air ke bagian yang pakaian yang terkena madzi sebagaimana sabda Rasulullah;

“Idza Raaital Madzyi Faghsil Dzakaraka Watawadhdho’ wudhuuaka lishshalaah”

artinya : jika kamu melihat madzi maka cucilah kemaluanmu dan berwudhulah dengan wudhu yang sama dengan wudhunya shalat, (HR. Abu Daud).

 

2.      Tidur. Orang yang tidur sebenanrnya masuk kedalam kategori orang yang hilang akalnya atau hilang kesadarannya. Sehinnga kemudian, ketika seseorang masih dalam keadaan berwudhu lalu tidur sampai hilang keasadarannya, maka batallah wudhunya.

 

Dalam beberapa kitab yang menganut mazhab Imam Syafi’I, salah satunya kitab safinatun najah misalnya, disebutkan bahwa salah satu yang membatalkan wudhu adalah tidur. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits riwayat Abu hurairah yang berbunyi “Manistahaqqannauma Faqad Wajaba Alaihilwudhu’u” Artinya : Barangsiapa yang tertidur, maka wajib baginya untuk berwudhu.

 

Apakah tidur membatalkan wudhu ataukah tidak, dalam masalah ini Ulama silang pendapat. Ada Ulama yang berpendapat bahwa tidur membatalkan wudhu, adapula yang mengatakan tidak membatalkan. Sehingga dalam memutuskan perkara ini, Ulama melakukan Jama’ atau Ijma’ Ulama (menggabungkan dalil) dan ada yang melakukan tarjih (memilih dalil yang lebih kuat).

 

Pertanyaannya kemudian adalah posisi tidur yang bagaimana yang tidak membatalkan wudhu? Wudhu orang yang tidur bisa tidak batal ketika dia tidur dalam keadaan duduk dan bersandar kepada benda tertentu, sehingga ia masih dalam keadaan tegak. Memungkinkan menyadari apa yang akan keluar dari duburnya. Dia tertidur dalam keadaan duduk dalam kedua sisi pantatnya tertekan ketanah atau lantai sehingga menutup lubang duburnya berbeda dengan orang yang tertidur terlentang. Dalil yang digunakan adalah diriwayatkan Abu Dawud dari Alli Bin Abi Thalib Ra yaitu “Qaala Rasulullahi Shallallahu Alaihi Wasallama: Wakaaussahil Ainaani, Famannaama Fal Yatawadhdho” artinya : Pengendali dubur (tempat keluarnya kotoran dari jalan belakang) adalah kedua mata, oleh karena itu barangsiapa tidur hendaklah ia berwudhu.

 

Hadits ini menunjukkan bahwa tidur pada dasarnya membatalkan wudhu, seseorang ketika tidur tidak dapat menjaga duburnya bahkan dia tidak tahu apakah telah kentut atau malah kencing.

 

3.      Hilangnya Akal. Hilangnya akal sebab mabuk atau sakit. Pernyataan ini diqiyaskan dengan tidur. Sebab kehilangan akal dan kesadaran saat mabuk atau sakit jiwa lebih kuat disbanding tidur.

4.      Bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (tanpa penghalang). Permasalahan yang sering diperdebatkan dikalangan masayarakat adalah hukum persentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan, apakah membatalkan wudhu atau tidak. Para ulama berbeda pendapat. QS Al-Maidah ayat 6 Allah berfirman “Awulaamastumunnisaa falam tajiduu maa’an fatayammamuu sha’idan thayyiban” Artinya : Atau kalian menyentuh perempuan, maka berwudhulah, jika tidak menemukan air maka bertayammumlah kamu dengan debu yang suci.

 

Dalam bahasa arab, kata “Al-Amsu” adalah merupakan lafadh yang musytarak, lafadh yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam. Al-Amsu ini bisa diartikan menyentuh dan juga berhubungan badan. Pendapat pertama diikuti oleh sahabat Ali, ibnu abbas dan hasan, sementara inu mas’ud, ibnu umar, dan sya’bi memilih pendapat yang kedua.

 

Ulama yang mengartikan “Al-Amsu” dengan menyentuh menyatakan bahwa persentuhan kulit lawan jenis membatalkan wudhu, sedangkan ulama yang mengartikan berhubungan badan menyatakan persentuhan itu tidak membatalkan wudhu melainkan berhubungan badan.

 

Perbedaan pemahaman ini menimbulkan perbedaan pendapat imam mazhab dan pengikutnya dalam menghukumi persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, termasuk istri. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya menyebutkan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan syahwat ataupun tidak. Sebagaimana hadits riwayat Aisyah Radiyallahu Anha : “Annannabiyya Shallahu ALaihi Wasallama, Qabbala Ba’dho nisaaihi tsumma kharaja ilas shalaati walam yatawadhdho’’ Artinya Bahwa Rasulullah SAW mencium beberapa istrinya lalu keluar untuk shalat tanpa wudhu.” (HR. Turmudzi).

 

Imam Syafi’I dan para pengikutnya menegaskan bahwa persentuhan kulit tersebut dapat membatalkan wudhu, baik dengan syahwat ataupun tidak. Berpedoman pada makna dhahir surat an-nisa ayat 43 : “Awulaamastumunnisaa” Artinya Atau kamu telah menyentuh perempuan. Sementara Imam Malik dan para pengikutnya memberikan rincian bahwa jika persentuhan itu diikuti dengan syahwat maka akan membatalkan wudhu tetapi jika tanpa syahwat maka tidak membatalkan wudhu.

 

Itulah para pendapat Ulama tentang hukum persentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Dari penjelasan diatas dapatlah kita mengambil sebuah kesimpulan bahwasanya semua pendapat memiliki argumentasi masing-masing dengan pendekatan hadits. Hanya saja untuk kehati-hatian dalam masalah ibadah, maka pendapat Imam Syafi;I dan para pengikutnya yang menyatakan batalnya wudhu Karen persentuhan kulit laki-laki dan perempuan layak untuk dipegang.

 

5.      Menyentuh alat kelamin. Sebuah hadits mengatakan “An Bisrati binti shafwan Radhiyallahu Anha; “Anna Nabiyya Shallallahu Alaihi Wasallama Qaala: Man Massa dzakarahu falaa yushalli hatta yatawadhdho” Artinya : dari Bisrah Binti Shafwan, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, barangsiapa yang memegang dzakarnya janganlah melakukan shalat hingga ia berwudhu.

 

Hadits diatas mengandung makna bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudhu. Baik itu kemaluannya sendiri terlebih lagi kemaluan oranglain.

 

6.      Menyentuh lubang dubur. Wudhu akan menjadi batal apabila menyentuh kelamin ataupun dubur, baik yang disentuh itu masih hidup ataupun sudah meninggal, milik sendiri ataupun milik orang lain, secara sengaja atau tidak sengaja. Apabila perkara ini disentuh dengan tidak menggunakan pembatas maka wudhunya menjadi batal.

 

Wallahu A’lam Bisshawab…..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar